34.9 C
New York
Jumat, Juli 25, 2025

Buy now

spot_img

Pentingnya Kolaborasi untuk Perlindungan Anak di Era Digital: Yayasan Rindang Indonesia Sambangi Kantor Google Indonesia

Jakarta Selatan — Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2025, Yayasan Rindang Indonesia berkesempatan untuk hadir dalam kegiatan Diskusi Publik bertema “Kebijakan dan Kolaborasi Pelindungan Anak di Era Digital” yang diselenggarakan oleh ICT Watch bersama mitra CSO dan lembaga terkait, di Kantor Google Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis (24 Juli 2025).

Kegiatan ini menghadirkan pembicara dari empat lembaga kunci: Tuaman Manurung (Kominfo–Kemkomdigi), Fitra Andika Sugiyono (KPPPA), Oviani Fathul Jannah (ECPAT Indonesia), dan Andri Kusumo (Google Asia Pacific).

Diskusi berfokus pada tantangan dan solusi perlindungan anak di ruang digital, khususnya dalam konteks kebijakan baru yaitu PP TUNAS (Pelindungan Anak di Era Digital).

Yayasan Rindang Indonesia, yang selama ini fokus pada pembinaan anak-anak usia remaja melalui pendidikan, menilai bahwa isu ini sangat relevan dengan aktivitas pendampingan yang dilakukan setiap hari.

Anak-anak kini tidak hanya rentan secara sosial, tetapi juga menghadapi risiko di ruang digital—sehingga diperlukan perhatian khusus dan keterlibatan aktif dari semua pihak.

Dalam paparannya, Tuaman Manurung, Ketua Subtim Penyusun Regulasi Kemkomdigi, menjelaskan bahwa PP TUNAS telah menetapkan tiga kriteria usia untuk melindungi anak-anak dari risiko ruang digital. “Untuk anak usia 13 tahun ke bawah, pendekatannya harus berbasis perlindungan penuh. Usia 13–16 tahun dibolehkan memiliki akun di platform digital berisiko rendah, sementara 16–18 tahun wajib dengan persetujuan orang tua. Di atas 18 tahun, regulasi tidak lagi mengatur secara khusus,” ujar Tuaman.

Ia juga menegaskan pentingnya pendekatan preventif melalui tata kelola platform digital yang lebih bertanggung jawab.

Fitra Andika Sugiyono, Perencana Muda di KPPPA, menyoroti tantangan implementasi perlindungan anak. “Minimnya literasi digital, kurangnya fitur keamanan, dan kesenjangan akses memperburuk risiko yang dihadapi anak-anak. Di sisi lain, banyak kebijakan yang belum melibatkan perspektif anak maupun publik dalam penyusunannya,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa peningkatan literasi digital bagi guru dan anak, serta penguatan regulasi dan kebijakan digital, menjadi langkah strategis untuk mewujudkan ruang digital yang ramah anak.

Sementara itu, Andri Kusumo, Program Manager dari Google Asia Pacific, menekankan pentingnya prinsip desain yang mengutamakan keselamatan anak. “Melindungi anak di ruang digital bukan hanya soal larangan, tapi soal bagaimana kita mendesain teknologi yang menghormati, memberdayakan, dan aman sejak awal—safety by design,” ujar Andri.

Ia juga mengenalkan inisiatif Gemini for Kids sebagai upaya menciptakan ruang daring yang lebih layak anak.

Oviani Fathul Jannah dari ECPAT Indonesia memaparkan bahwa kasus kekerasan seksual berbasis online semakin meningkat di Indonesia, menyusul Filipina dan India. “Sayangnya, peraturan yang ada masih terlalu umum dan tidak cukup ‘ramah keluarga’. Bahasa dalam regulasi sulit dipahami, terutama oleh orang tua. Ini menjadi tantangan besar,” ungkap Oviani.

Ia menekankan pentingnya literasi digital bagi orang tua dan peran organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam menyuarakan kebutuhan perlindungan anak. “CSO seperti kami juga menyediakan data risiko, memfasilitasi diskusi, dan mendorong partisipasi anak agar mereka bisa jadi aktor aktif dalam perlindungan itu sendiri,” tambahnya.

Diskusi publik ini tidak hanya menjadi ajang tukar gagasan antarlembaga, tetapi juga forum penting untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor demi perlindungan anak di era digital yang makin kompleks. Yayasan Rindang Indonesia memandang acara ini sebagai momen strategis untuk memperkuat pendekatan pembinaan dan pengasuhan yang adaptif terhadap perkembangan zaman.

“Anak-anak remaja saat ini memang di hadapkan dengan era digital dan internet tidak terkecuali di yayasan kami juga hidup dalam dunia digital yang dinamis. Kami sebagai pendidik dan pembina harus memahami lanskap risikonya, dan ikut aktif membentuk ruang digital yang mendukung tumbuh kembang mereka,” tutur Rijal salah satu perwakilan dari Yayasan Rindang Indonesia.

Pada akhirnya, kegiatan ini menegaskan bahwa perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab negara, melainkan komitmen kolektif dari keluarga, komunitas, dunia pendidikan, hingga industri teknologi.

Dengan kolaborasi dan kebijakan yang berpihak, ruang digital dapat menjadi tempat yang aman, inklusif, dan memberdayakan bagi seluruh anak Indonesia.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles